Oleh Drs. M. Saifuddin Pemerhati Pendidikan, Purna Tugas Guru SMAN 8 Sinjai “Pendidikan bukan soal kekuasaan. Pendidikan adalah soal hati.” ...
“Pendidikan bukan soal kekuasaan. Pendidikan adalah soal hati.”
SUDAH lebih dari setahun saya mengakhiri masa tugas sebagai guru di SMA Negeri 8 Sinjai. Namun, berita dan cerita yang datang dari almamater saya belakangan ini sungguh menyesakkan hati. Situasi yang terjadi saat ini jauh dari semangat pembinaan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap martabat manusia—baik guru maupun siswa.
Masalah yang muncul awalnya sederhana: permintaan data kehadiran guru (print out ceklok). Namun respons yang diberikan oleh salah satu pimpinan sekolah justru tidak mencerminkan profesionalisme. Data tersebut ditolak tanpa alasan yang jelas, bahkan guru-guru ditekan untuk menandatangani surat penolakan, diduga dalam suasana intimidatif.
Merasa tidak nyaman dan kehilangan ruang dialog, beberapa guru kemudian melapor ke Polsek Sinjai Borong. Aparat kepolisian, melalui Kanit Reskrim, telah memulai klarifikasi dan pemeriksaan terhadap beberapa staf. Dugaan sementara mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan indikasi pemalsuan dokumen.
Namun bagi saya, yang paling menyayat adalah kisah seorang siswa bernama Farhan. Ia dipaksa menandatangani surat pengunduran diri karena orang tuanya tidak bisa hadir menerima rapor. Padahal ini adalah persoalan teknis yang seharusnya bisa diselesaikan dengan pendekatan sosial dan kemanusiaan. Kini, Farhan tertinggal setahun dari teman-temannya, bukan karena kesalahan akademik, tapi karena ketidaksensitifan sistem.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah pengetahuan Dinas Pendidikan. Namun, hingga kini belum terlihat langkah nyata yang berpihak pada peserta didik maupun guru.
Saya tahu bersuara bisa dianggap kontroversial. Namun saya lebih khawatir ketika kita semua memilih diam. Karena diam, dalam situasi seperti ini, berarti membiarkan sistem yang semestinya mendidik justru menyakiti.
Kepala sekolah dan wakilnya yang saya tahu adalah ipar—sebuah relasi yang dalam konteks manajemen bisa menimbulkan konflik kepentingan. Dan itulah yang saya lihat sekarang: institusi yang tidak lagi tumbuh atas dasar musyawarah dan kemitraan, tetapi kuasa dan ketakutan.
Saya mengajak Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan untuk turun tangan secara serius. Evaluasi kepemimpinan SMA Negeri 8 Sinjai harus dilakukan, bukan sekadar untuk menyelesaikan konflik, tetapi demi memulihkan kembali nilai-nilai luhur pendidikan: keadilan, kasih sayang, dan keberpihakan pada anak.
Jangan sampai sekolah ini menjadi simbol bagaimana sistem bisa mencederai mereka yang seharusnya dilindungi.
Tidak ada komentar